Original story

"Time" Aku adalah seorang psikiater yang cukup terkenal disini, dalam pekerjaanku ada saja hal-hal aneh dan ganjil yang kerap kutemui, tapi semua bukanlah hal aneh lagi dalam hidupku sebagai seorang psikiater menghadapi orang-orang yang setengah jiwanya telah hilang. Pada suatu hari seorang sahabatku yang kebetulan adalah seorang polisi. Dia mendatangiku di tempatku membuka praktek, karena sudah lama tak bertemu kami mengobrol tentang semua hal tentang setiap peristiwa yang kami hadapi setelah lulus SMA, lalu giliran dia bercerita padaku tentang suatu peristiwa mengerikan yang dia hadapi dan sampai sekarang masih belum terpecahkani tentang pembunuhan yang menghabisi satu keluarga, “beberapa waktu lalu sepasang suami istri ditemukan tewas dengan tangan dan kaki terpotong, yang lebih mengerikan dari hasil autopsi di duga kematian korban karena kehabisan darah, itu berarti saat tangan dan kakinya di potong suami istri tersebut masih dalam keadaan hidup, dan sampai saat ini anak satu-satunya dari keluarga itu hilang diduga diculik oleh pelaku, yang hampir membuatku terkejut adalah wajah si suami yang terbunuh itu, dia………... (tiba-tiba menghentikan ucapannya), haha mungkin hanya kebetulan”, cerita temanku itu. Dia lalu melihat jam tangan dan berpamitan untuk pergi, aku sangat penasaran dengan kata-kata yang terhenti itu, tapi tampaknya dia sedang terburu-buru jadi tak kulanjutkan niatku untuk bertanya. Sebelum pergi dia juga memperingatkank­u agar lebih hati-hati, karena orang yang sering bersamaku adalah orang-orang yang jiwanya sedang terguncang atau lebih bisa dikatakan tidak normal. Aku hanya tersenyum mendengar cerita dan peringatan temanku itu. tak lama dia pergi tampaklah seorang anak yang mengintipku dari sudut jalan, tapi sesekali dia seperti merenung oleh suatu hal, dalam diamnya benar-benar tampak ekspresi penuh kehampaan dari yang pernah tampak dari seseorang. Wajahnya pucat dengan ekspresi datar, serta tatapan matanya yang tajam menggambarkan sesosok manusia yang sangat dingin, kejam, namun sangat memprihatinkan di usianya tersebut. Aku perhatikan dia beberapa saat, dan dia menoleh ke arahku. tak lama dia langsung menghampiriku dengan ekspresinya yang datar tersebut. Melihat dia menghampiriku mulai ada sedikit cemas yang kurasa, entah perasaan apa yang merasuki diriku ini, perasaan yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Tubuh itu seperti diselimuti kengerian yang tak bisa tergambarkan dan hanya bisa dirasakan, kurus, dengan rambut tak terawat adalah satu-satunya hal yang bisa ku gambarkan saat itu. Tak lama dari itu dia telah berada di depanku, dan wajah datarnya menjadi senyum ramah. “paman dokter.. saya mau konsultasi, apa anda ada waktu??, Tanya anak itu padaku. aku yang prihatin melihat kondisi anak itu langsung mengiyakan semuanya, aku pun menawarkannya masuk ke dalam. “masuklah kawan kecil, jadikan tempat ini senyaman mungkin untukmu”, kataku pada anak itu. Aku pun mengajaknya ke ruang tamuku untuk berbicara, aku pun mempersilahkan padanya untuk duduk. “oh iya siapa siapa namamu??”, tanyaku padanya. anak itu diam sejenak sambil melihat sekeliling rumahku, lalu dia berkata singkat, “namaku novan”. Mendengar jawaban itu aku langsung tersenyum dan berkata, “ada masalah apa yang terjadi padamu nak?”. Anak itu pun termenung dan menceritakan apa yang terjadi padanya, “aku sebenarnya lari dari rumahku, aku begitu karena ayah dan ibu selalu saja menghukum dan memukulku. Setiap aku melakukan kesalahan kecil ayah langsung mengambil sapu dan memukulkannya ke badanku sampai sapu itu patah. Ibu juga tidak pernah memberikanku makan jika aku tidak melakukan pekerjaan rumah, padahal ayah dan ibuku hanya duduk diam, mabuk-mabukkan dan bersantai di rumah. Setiap hari aku dipaksa mengamen dan tidak boleh sekolah oleh mereka, saat aku hanya mendapat uang sedikit, selalu saja aku dipukuli oleh mereka. Pernah suatu hari aku pergi ke sekolah dekat rumahku secara diam-diam, lalu ayahku tau dan memukuli ku di depan banyak orang, sementara orang-orang disana hanya diam tidak melakukan apapun, bahkan rasanya kesenanga bermain saja aku tidak tau, karena aku dilarang bermain dan hanya boleh bekerja oleh mereka”. Cerita anak itu Mendengar cerita itu aku sangat sedih, dan prihatin dengan apa yang dialami anak itu. Seorang anak yang seharusnya bisa bebas bermain dan mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya, malah mendapat perlakuan yang begitu kejam dan penuh kekangan dari orang tuanya. Aku pun menduga mungkin ini alasan kenapa tubuhnya seperti tak terawat, dan ekspresinya yang mengerikan karena gangguan psikologis yang dia terima. “nak apa alasan kamu mengintipku di ujung jalan sana?”, tanyaku padanya wajahnya kembali tersenyum datar, dan matanya menatapku tajam. Pandangan yang kulihat dari anak itu benar-benar mengerikan. “aku hanya ingin melihatmu paman (tersenyum), oh iya apa aku boleh bertanya suatu hal?”, Tanya anak itu. aku membalas senyumannya dan berkata “apa yang mau kamu tanyakan kawan kecil?”. “hmm apa kamu percaya bahwa waktu bisa membunuh??”, Tanya anak itu. aku sempat diam saat anak ini bertanya hal tersebut, tapi aku tetap menjawab pertanyaannya itu, “tentu saja waktu tidak mungkin bisa membunuh seseorang, tapi seseorang pasti mengalami kematian seiiring waktu?” jawabku. Anak itu bertanya lagi padaku.. “lalu apakah orang yang membunuh itu adalah orang jahat”. Tanya anak itu. pertanyaan anak ini semakin lama semakin tak masuk dalam logika ku, kepalaku benar-benar penuh pertanyaan tentang siapa anak ini. aku pun menjawab pertanyaan itu meski keanehan menghantuiku, “tidak nak… jangan pernah melihat siapa, tapi lihatlah apa. Maksud paman adalah siapapun orang itu dia tidak pernah salah, yang salah adalah apa yang dia lakukan.”, jawabku dengan tenang. wajahnya berubah menjadi kaku dan dia mengerutkan dahi. “apa paman percaya kalau aku membunuh seseorang??”, Tanya anak itu lagi. Semakin lama aku baru mengerti bahwa kalimat dari pertanyaan anak ini seolah mencari suatu kebenaran dan sangat penuh dengan penyesalan. “tentu saja tidak mungkin, kamu adalah anak yang manis jadi mana mungkin kamu membunuh”, seruku sambil tersenyum padanya. Anak itu tertawa kecil dan terus menatapku, lalu dia berkata “paman benar, aku bisa membuktikan bahwa aku tidak membunuh tapi paman juga salah jika bilang waktu tidak bisa membunuh seseorang”, kata anak itu. aku terkejut dan rasa takut mulai menguasai diriku mendengar kata-kata anak itu barusan, belum sempat aku menjawabnya pukulan keras sebuah linggis melayang di kepalaku. Dia menyembunyikan linggis itu di balik belakang bajunya dari tadi. Darah mengalir deras membasahi kemeja putihku, aku menatap wajahnya yang lugu berubah menjadi mengerikan seperti sebelumnya, dan kali ini lebih menyeramkan dengan linggis di tangannya, aku yang berusaha bangkit langsung dipukul berulang kali, kali ini kakiku yang menjadi sasaran sehingga aku tak bisa bangkit sekarang, dia lalu mematahkan kedua tanganku, aku yang menahan sakit melihat anak itu dan mengutuknya dalam hati karena membuatku seperti ini, dia kembali tersenyum dan tertawa kecil sambil memukulkan linggis itu ke kepalaku lagi berulang kali. Kedua kaki dan tanganku yang patah tak lagi bisa digerakkan, tubuhku juga mulai lemas karena darah terus mengalir dari kepalaku. Ditengah-tengah­ kesadaranku ini, kulihat dia menjatuhkan sebuah foto, di dalamnya tampak ada seorang laki-laki dan perempuan yang sedang duduk di sebuah sofa dengan seorang anak. Wajah anak dalam foto itu adalah sosok yang berdiri di depanku saat ini, dan foto laki-laki di sofa itu sangat mirip denganku. Samar-samar kudengar suara anak itu berkata, “Apa kau tau bahwa aku sangat membenci ayah dan ibuku, itu alasan aku memotong tangan dan kaki mereka yang slalu digunakan untuk menyiksaku. Terimakasih paman telah percaya padaku bahwa aku bukan pembunuh, sekarang aku membuktikan pada paman bahwa aku memang bukanlah seorang pembunuh, kerena pembunuh itu adalah waktu dan bukan aku”, salah paman sendiri karena u memiliki wajah yang mirip ayahku, karena aku bukan pembunuh maka aku tidak bersalah kan paman..”, kata anak itu sambil cekikikan. Setelah mengambil foto yang terjatuh tadi anak itu meninggalkanku yang tergeletak tak berdaya, tangan dan kakiku patah, darah terus mengalir tak berhenti. Aku menatap anak itu pergi dan sangat senang di tengah kematian yang semakin dekat padaku, dan aku juga paham arti kalimat yang diucapkan anak itu, “waktu memang bisa membunuh” #copasan Moga aja merinding Tolong taruh komentar slsai mmbaca. Makasih.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

4. Mimpi

KILLER MESSAGE