Case N.D.I - Chronology Case: Angel's Murder ( Seth D. Kei )
PERHATIAN!
Lets's Begin! :)Aku masih tak habis pikir hal seperti itu bisa terjadi...
Manusia memang makhluk penuh misteri, Tuhan telah menciptakan manusia dengan begitu kompleks...
Seseorang takkan benar – benar mengerti isi hati orang lain, itulah faktanya. Dan aku percaya itu!
Aku bergegas mengendarai mobilku, mobil VW tua antik yang sudah reyot. Namun setidaknya VW yang kunamai Watson ini sudah menemaniku dalam berbagai petualanganku memecahkan kasus – kasus yang pelik. Yah dialah partnerku, meskipun ia tak mampu berpikir dan mengobati pasien seperti Dr. Watson, partner Holmes.
Jalanan terasa licin kala hujan mengguyur London petang itu. Sudah sejak kemarin malam hujan tak kunjung reda dan hampir setiap hari seperti ini. “Ah sial! Kenapa di saat seperti ini! Ayolah, Watson!” aku menggerutu ketika mencoba menyalakan mesin Watson yang merajuk di tengah perjalananku, namun sia – sia, Watson tak kunjung menyalak. 10 menit aku mencoba merayu mesin tua itu, namun tetap tak berhasil. Akhirnya aku menyerah, aku dorong Watson ke tepi jalan dekat sebuah toko bunga. “Maaf, Nona Bella, bisa kutitipkan partnerku ini
untuk beberapa jam? Aku harus bergegas.” Wanita muda yang kusapa Nona Bella itu hanya mengangguk dan tersenyum, manis sekali senyumnya.
Aku menyetop taksi yang melintas, kusebutkan alamat yang ingin kutuju dan pak supir pun melesatkan taksinya. Hampir aku tertidur, untung saja pak supir mengagetkanku di tengah rasa kantuk yang menyerangku. “Sudah sampai, Pak.” Pak supir memberi-tahuku, kuucapkan terima kasih dan membayar argonya dengan uangku yang cukup basah.
“Penampilan yang kacau, telat, dan... ah kau sungguh buruk kali ini, Seth.”
“Maaf, Pak. Ini semua karena hujan.”
“Ah sudahlah, itu tak begitu penting. Apa kau mau melihat TKP?”
“Tentu.”
Aku diantar oleh Inspektur Brown. Inspektur Brown seorang kulit putih, namun entah kenapa orang tuanya menamakannya Brown, agak aneh menurutku. Aku sempat berpikir bahwa dia pernah berganti kulit sebelumnya, jangan bayangkan ular dan jangan berlebihan dalam mengimajinasikannya karena
aku ragu kau dapat menghabiskan makananmu.
TKP kali ini sebuah kamar laki – laki, yah tentu aku menduga demikian, banyak poster – poster yang disukai pria tertempel di dinding kamar ini, tentu saja tak perlu kuperjelas di sini. Banyak pernak – pernik laki – laki, begitupun setelah kucek lemari pakaiannya. Kecuali jika memang pemilik kamar ini adalah seorang wanita maniak.
Aku tak melihat mayat korban, sepertinya sudah dibawa oleh tim forensik untuk diperiksa karena aku terlambat tiba di TKP. Aku hanya melihat selimut yang berlumuran darah, saat aku dekati selimut itu, aku melihat beberapa lubang pada selimut itu. “Tusukan yang cukup brutal.” Gumamku.
“Boleh aku minta data korban?” aku berbisik pada Inspektur Brown.
Inspektur Brown memberiku sebuah note. Kucari kursi terdekat dan aku duduk, membaca note itu. Korban bernama Angelina Dalton, 24 tahun, seorang penulis lepas. Ah ya aku sering menemukan namanya di beberapa harian kota London, ia sering menulis cerpen, tapi aku tak begitu tertarik untuk membacanya. Bagikut kejahatan di London lebih menarik. Tewas dua hari yang lalu sekitar jam 9 – 10 malam. Korban tewas akibat luka tusukan di tubuhnya, 5 buah tusukan. Setelah diperiksa, di tubuh korban mengandung obat tidur. Gelas berisi air yang tersisia setengah gelas di atas meja dekat korban pun mengandung obat tidur. Pintu rumah dan kamar korban tewas tidak terkunci, namun jendela kamar terkunci dari dalam.
“Inspektur, apakah korban tinggal seorang diri di sini?”
“Bahkan ini bukan rumah korban.”
“Hei? Apa maksudmu?”
“Rumah ini milik seorang pria bujang bernama James Walker. Dia adalah teman
dekat korban, bisa dikatakan mereka berdua berpacaran. Menurutnya dua hari yang lalu jam 2 siang dia berangkat menuju Bolton untuk urusan pekerjaan dan kembali ke London jam 5 sore tadi dan kemudian menelepon kami karena malihat mayat korban di kamarnya. Dia tinggal seorang diri di rumah ini, jadi tak ada yang menguatkan alibinya. Dia sempat menunjukkan tiket kereta api yang ia gunakan, katanya itu bisa membuktikan bahwa ia benar – benar pergi ke Bolton.”
“Begitu ya. Hmmm, aku butuh bicara dengannya, di mana dia sekarang, Pak?”
“Dia ada di sana, Seth. Silakan bicara padanya sesukamu.”
Aku berjalan menuju ruangan yang ditunjuk oleh Inspektur Brown. Di sana ada
beberapa petugas polisi sedang berjaga dan sebagian sedang menyelidiki ruangan itu, dan seorang pria yang kutafsir berusia sekitar 25 tahun, sedang duduk dengan kepala menunduk.
“Hello?”
Dia mengangkat kepalanya, “Siapa anda?”
“Aku Seth, Seth Clearwater, detektif swasta, di sini untuk bekerja sama dengan kepolisian London memecahkan kasus ini.” Kutunjukkan kartu identitasku.
“Namaku James Walker, pemilik rumah ini sekaligus kekasih Angel. Apa yang ingin anda ketahui dariku?”
“Hm sederhana saja, silakan ceritakan apapun yang ingin kau ceritakan dan yang kau ketahui dari kasus ini.”
“Err... baiklah. Bermula pada malam 3 hari yang lalu, aku dan Angel makan malam di sebuah restoran favorit kami. Aku sempat ke toilet karena saat itu
aku sedang sedikit mual, saat aku kembali aku melihat ada pesan yang masuk ke ponselku, mungkin saat aku ke toilet tadi pesan itu masuk. Pesan itu dari rekan kerjaku yang menyuruhku pergi ke Bolton esok harinya. Angel tahu hal itu. Kemudian esoknya aku pergi ke Bolton dengan kereta jam 2 siang. Setibanya di Bolton, aku tak mendapatkan apa – apa, aneh sekali menurutku. Aku mencoba menghubungi rekan kerjaku yang menyuruhku datang ke sana, namun aku tak bisa menghubunginya, selalu mailbox. Aku menunggu hingga 2 malam di sana namun tak kunjung ada kabar. Akhirnya aku pulang ke London dan tiba di sini jam 5 sore. Setiba aku di sini aku kaget karena pintu rumahku tidak terkunci. Dan aku
menemukan jejak sepatu menuju kamarku, aku ikuti jejak itu sampai jejak itu berakhir di kamarku, dan aku mendapati tubuh Angel yang sudah bersimbah darah di tempat tidurku. Aku pun bergegas menghubungi ambulance dan polisi. Sungguh aku tak mengerti dengan semua ini.”
“Apa kau mengunci pintu rumahmu sebelumnya?”
“Aku yakin aku menguncinya, ini kuncinya.”
“Apa tak ada kunci duplikatnya?”
“Tidak, sempat ingin kubuat, tapi aku menundanya hingga aku menikah dengan Angel nanti.”
“Begitu ya, baiklah, terima kasih James, informasi darimu sangat membantu.”
Aku kemudian pergi menemui Inspektur Brown lagi yang kini sibuk dengan petugas polisi yang lain.
“Sudah puas dengannya, Seth?”
“Lumayan. Tapi aku masih belum mengerti dengan kasus ini. Mungkin dia yang membunuhnya, dan bisa saja dia berbohong tentang tiketnya itu. Tapi aku belum menemukan buktinya. Kurasa kita harus menyelidikinya lebih dalam lagi, Pak.”
“Hmmm, cukup masuk akal, aku juga berpikiran begitu. Baiklah, sepertinya kita harus lebih ekstra lagi dalam kasus ini.”
“Apa kau sudah menyelidiki tentang korban? Keluarganya mungkin? Atau kerabatnya?”
“Astaga, aku hampir lupa, aku belum memberi tahu keluarga korban tentang kematian korban.”
“Oh ya ampun, ini fatal, sir. Baiklah kita mulai dari keluarga korban, sekaligus menyelidikinya.”
“Aku setuju. Tunggu sebentar.”
Aku, Inspektur Brown dan beberapa petugas polisi tiba di rumah korban, hanya memakan waktu 15 menit perjalanan dengan mobil. Rumah yang tak begitu besar.
“Permisi.” 3 kali kami mengetuk pintu rumah itu, samar kudengar suara seseorang menyahut ketukan kami. “Ya sebentar” begitulah suara itu.
Pintu itu dibuka oleh seorang pria berkumis dan berjanggut tipis, “Siapa kalian dan ada apa datang ke rumahku?”
“Kami dari kepolisian London, saya Inspektur Brown dan ini Seth Clearwater. Bolehkah kami masuk?”
Akhirnya pria itu mengijinkan kami masuk, kami duduk di sofa ruang tamu rumah
itu, pria itu ijin ke belakang untuk membuatkan kami minum. “Silakan.” Katanya ketika menaruh secangkir coklat panas di hadapan kami.
“Begini, err...”
“Chris Dalton, Pak.”
“Ya, begini Chris, apakah kau sudah tahu bahwa adikmu, Angelina Cristine, telah tewas dua hari yang lalu?”
Wajahnya berubah menjadi sangat terkejut, aku takkan mengibaratkannya seperti
tersengat petir di siang bolong karena perumpamaan itu sudah terlalu mainstream. “Kau pasti bercanda! Bagaimana bisa dia tewas?”
“Jika kami bercanda, lebih baik kami menghangatkan diri kami di depan perapian
atau berendam air hangat daripada datang ke sini dan membuang waktu dengan memberi celoteh tak berguna padamu.” Kataku.
“Dia tewas terbunuh, diperkirakan sudah sejak dua hari yang lalu di rumah kekasihnya, James Walker. Apa kau mengenal pria itu?”
“Dia? Tidak mungkin! Dia ‘kan... maksudku dia seharusnya menikahi adikku, kenapa dia justru membunuhnya!”
“Tunggu, apa maksudmu?” aku dan Inspektur Brown menampakkan wajah bingung.
“Tunggu sebentar.” Dia beranjak dari tempat duduknya, entah akan pergi ke mana.
Selagi menunggu, aku meminum coklat panas yang tadi disuguhkan. Sementara Inspektur menyalakan cerutunya karena sejak tadi aku tak melihatnya menghisap cerutunya.
Tak lama kemudian Chris kembali lagi, “Ini.” Katanya sembari memberikan sesuatu pada Inspektur Brown. Rupanya korban sedang hamil. “Aku tak sengaja menemukannya di kamar adikku saat aku sedang membersihkan rumah 4 hari yang lalu, saat itu aku menemukannya di meja rias di kamar adikku, tak lama aku memegang benda itu, adikku memergokiku dan bergegas merebut benda itu dariku. Aku yakin itu perbuatan pria itu, karena mereka berpacaran. Adikku tidak pulang sejak 3 hari yang lalu, aku mencoba menghubnginya tapi tak bisa juga,
aku sempat membuat laporan kepada polisi tentang hal ini tapi belum juga diproses oleh kepolisian. Aku menduga dia takut pulang karena aku mengetahui hal itu, tapi tak kusangka ia telah tewas dibunuh.”
Perkataannya memang masuk akal, hm, tapi aku masih belum begitu yakin. Kemudian aku bertanya beberapa hal padanya hingga kuketahui bahwa korban tinggal bersama ibunya yang sedang sakit cukup parah dan kakaknya yang bernama Chris yang kini sedang berada di hadapanku, Chris seorang pekerja di
sebuah konstruksi bangunan, saat aku meminta ijin untuk memeriksa kamarnya aku menemukan pakaian kerjanya yang lengkap. Ibunya sudah sakit sejak 5 bulan yang lalu, terserang penyaki semacam stroke sehingga sebelah tubuhnya lumpuh. Chris meminta kami untuk tidak menemui ibunya karena takut ibunya shock mendengar hal itu, tapi kami diijinkan untuk melihat ibunya di kamarnya. Kemudian dia meminta tolong pada kami agar menyelidiki kasus ini dan menangkap pembunuh adiknya. Kami pun pamit dan melanjutkan penyelidikan.
“Jadi kemana kita selanjutnya?”
“Ah ya kita melupakan satu hal, Pak.” Aku kemudian berbalik dan mengetuk pintu rumah korban lagi. “Ada apa lagi, Pak?” kata Chris. Aku bertanya padanya tentang kerabat – kerabat adiknya yang kurasa dapat membantu kami memecahkan kasus ini.
“Baik, aku sudah mendapatkannya. Sekarang kita ke rumah pria bernama William Crossroad ini terlebih dahulu karena paling dekat di antara yang lainnya.” Inspektur Brown pun mengangguk setuju.
“Ya aku memang teman Angel, kami sudah berteman sejak SMA dulu, terakhir aku bertemu dengannya sekitar seminggu yang lalu. Waktu itu aku tak sengaja bertemu dengannya di sebuah mall, dia sedang bersama kekasihnya, si James itu. Aku jarang bertemu dengannya, jadi aku tak begitu tahu apa masalahnya. Aku turut berduka atas meninggalnya Angel. Maaf aku harus segera pergi karena rekan bisnisku sudah menunggu, jadi bisakah kita selesaikan ini sekarang?”
Akhirnya kami hanya mendapatkan informasi seperti itu dari pria bernama William, lalu kami melanjutkan penyelidikan kami ke rumah seorang wanita bernama Vivian Jessica. Saat kami sampai di rumahnya, dia sedang tidak ada, menurut orang tuanya ia sekarang sedang bermain tennis di sebuah tempat, kami pun meluncur ke sana.
“Kami berteman baik, tapi 3 hari terakhir ini aku tak mendapat kabar darinya, aneh memang, biasanya kami selalu memberi kabar melalui SMS ataupun telepon, terkadang juga skype. Kami mengobrol tentang berbagai hal, kau tahu, yah begitulah wanita. Ya aku tahu dia sudah hamil, dan aku dengar bahwa James mau menikahinya, kalau tak salah dia mengatakannya 4 hari yang lalu, jam 8 malam melalui skype. Ya itu terakhir kali aku berkomunikasi dengannya.”
“Kenapa kau tampak sedih begitu?”
“Yang benar saja, sahabatku meninggal tentu saja aku sedih.”
“Tidak, itu berbeda.”
“Hm,
James adalah mantan kekasihku dulu, tapi itu sudah lama sekali. Aku akui aku masih mencintainya, tapi aku tidak akan bertindak bodoh, aku bersumpah bukan aku yang melakukannya. Bagaimanapun Angel adalah sahabatku.”
Dia mencurigakan, “Apa yang kau lakukan 2 malam yang lalu?”
“Hei hei, kalian mencurigaiku?”
“Jawab saja, demi kemulusan penyelidikan.” Kataku.
“Baiklah, tapi kau akan menyesal karena telah mencurigaiku. 2 malam yang lalu aku berada di luar kota karena ada pertandingan tennis, jika kau tak percaya tanyakan saja pada orang – orang di sini. Aku kembali ke London keesokkan harinya jam 9 pagi. Apa kau puas?” dia terlihat tidak suka dengan kecurigaan kami padanya, wajahnya kini berubah jadi masam.
“Baiklah terakhir, apa kau tahu siapa saja yang memiliki dendam pada korban atau setidaknya benci dan tidak suka pada korban?”
“Hm, tunggu sebentar, kurasa tidak ada, entahlah tapi aku tak merasa ada yang membenci Angel.”
“Vivi! Giliranmu sekarang!” tiba – tiba seseorang dari arah lapangan memanggilnya. “Maaf aku harus bermain tennis sekarang, jika ada lagi yang ingin kalian tanyakan, silakan hubungi aku, ini karu namaku.” Dia pun pergi mtengambil raket tennisnya dan kami pergi.
“Jadi bagaimana sekarang?” Inspektr Brown bertanya padaku, aku menoleh padanya dan kubalas pertanyaannya dengan menaikkan bahuku. Aku sedang berpikir, entahlah apa yang kupikirkan, rasanya ada yang aneh dengan kasus kali
ini. Apakah aku sudah selesai dengan penyelidikan ini? Ataukah aku harus mencari fakta – fakta dan para tersangka baru untuk memecahkan kasus ini? Entahlah, aku sungguh kehabisan ide.
“Pak, kurasa aku harus pergi, ada yang ingin kukerjakan, jika ada sesuatu tolong segera hubungi aku. Oh ya, boleh aku pinjam mobilmu? Mobilku masih kutitipkan, kau tahu ‘kan bagaimana Watson?” Inspektur Brown memberikanku kunci mobilnya, aku pergi meninggalkannya dan meluncur dengan mobil miliknya.
Tempat yang ingin kutuju sekarang adalah poirot cafe, aku butuh coklat panas untuk menjernihkan otakku dan memikirkan apa yang harus kupikirkan dan aku lakukan selanjutnya...
Pertanyaan:
Analisa Case ini ;)
Good Luck!
Regards,
Seth D. Kei - Net Detective Indonesia
- case ini adalah case fiktif, segala peristiwa, nama tokoh, tempat, dll hanyalah fiktif semata, jika ada kesamaan maka itu hanya kebetulan semata
- case ini original by Seth D. Kei, jika ingin merepost atau menyebarkan kembali, diharapkan untuk ijin kepada si pembuat (Seth D. Kei)
- case ini ditujukan untuk berbagi pengetahuan, melatih daya analisa maupun deduksi dan for fun
- case ini sudah pernah dipost di sebuah jejaring sosial, dan diharapkan untuk yang sudah tahu jawabannya tidak untuk menjawab
- pertanyaan dan diskusi dipersilakan ditulis di komen doc ini, tidak diperkenankan OOT!
- terima kasih atas kesediaan membaca dan mencoba case ini ;)
Lets's Begin! :)Aku masih tak habis pikir hal seperti itu bisa terjadi...
Manusia memang makhluk penuh misteri, Tuhan telah menciptakan manusia dengan begitu kompleks...
Seseorang takkan benar – benar mengerti isi hati orang lain, itulah faktanya. Dan aku percaya itu!
Aku bergegas mengendarai mobilku, mobil VW tua antik yang sudah reyot. Namun setidaknya VW yang kunamai Watson ini sudah menemaniku dalam berbagai petualanganku memecahkan kasus – kasus yang pelik. Yah dialah partnerku, meskipun ia tak mampu berpikir dan mengobati pasien seperti Dr. Watson, partner Holmes.
Jalanan terasa licin kala hujan mengguyur London petang itu. Sudah sejak kemarin malam hujan tak kunjung reda dan hampir setiap hari seperti ini. “Ah sial! Kenapa di saat seperti ini! Ayolah, Watson!” aku menggerutu ketika mencoba menyalakan mesin Watson yang merajuk di tengah perjalananku, namun sia – sia, Watson tak kunjung menyalak. 10 menit aku mencoba merayu mesin tua itu, namun tetap tak berhasil. Akhirnya aku menyerah, aku dorong Watson ke tepi jalan dekat sebuah toko bunga. “Maaf, Nona Bella, bisa kutitipkan partnerku ini
untuk beberapa jam? Aku harus bergegas.” Wanita muda yang kusapa Nona Bella itu hanya mengangguk dan tersenyum, manis sekali senyumnya.
Aku menyetop taksi yang melintas, kusebutkan alamat yang ingin kutuju dan pak supir pun melesatkan taksinya. Hampir aku tertidur, untung saja pak supir mengagetkanku di tengah rasa kantuk yang menyerangku. “Sudah sampai, Pak.” Pak supir memberi-tahuku, kuucapkan terima kasih dan membayar argonya dengan uangku yang cukup basah.
***
“Penampilan yang kacau, telat, dan... ah kau sungguh buruk kali ini, Seth.”
“Maaf, Pak. Ini semua karena hujan.”
“Ah sudahlah, itu tak begitu penting. Apa kau mau melihat TKP?”
“Tentu.”
Aku diantar oleh Inspektur Brown. Inspektur Brown seorang kulit putih, namun entah kenapa orang tuanya menamakannya Brown, agak aneh menurutku. Aku sempat berpikir bahwa dia pernah berganti kulit sebelumnya, jangan bayangkan ular dan jangan berlebihan dalam mengimajinasikannya karena
aku ragu kau dapat menghabiskan makananmu.
TKP kali ini sebuah kamar laki – laki, yah tentu aku menduga demikian, banyak poster – poster yang disukai pria tertempel di dinding kamar ini, tentu saja tak perlu kuperjelas di sini. Banyak pernak – pernik laki – laki, begitupun setelah kucek lemari pakaiannya. Kecuali jika memang pemilik kamar ini adalah seorang wanita maniak.
Aku tak melihat mayat korban, sepertinya sudah dibawa oleh tim forensik untuk diperiksa karena aku terlambat tiba di TKP. Aku hanya melihat selimut yang berlumuran darah, saat aku dekati selimut itu, aku melihat beberapa lubang pada selimut itu. “Tusukan yang cukup brutal.” Gumamku.
“Boleh aku minta data korban?” aku berbisik pada Inspektur Brown.
Inspektur Brown memberiku sebuah note. Kucari kursi terdekat dan aku duduk, membaca note itu. Korban bernama Angelina Dalton, 24 tahun, seorang penulis lepas. Ah ya aku sering menemukan namanya di beberapa harian kota London, ia sering menulis cerpen, tapi aku tak begitu tertarik untuk membacanya. Bagikut kejahatan di London lebih menarik. Tewas dua hari yang lalu sekitar jam 9 – 10 malam. Korban tewas akibat luka tusukan di tubuhnya, 5 buah tusukan. Setelah diperiksa, di tubuh korban mengandung obat tidur. Gelas berisi air yang tersisia setengah gelas di atas meja dekat korban pun mengandung obat tidur. Pintu rumah dan kamar korban tewas tidak terkunci, namun jendela kamar terkunci dari dalam.
“Inspektur, apakah korban tinggal seorang diri di sini?”
“Bahkan ini bukan rumah korban.”
“Hei? Apa maksudmu?”
“Rumah ini milik seorang pria bujang bernama James Walker. Dia adalah teman
dekat korban, bisa dikatakan mereka berdua berpacaran. Menurutnya dua hari yang lalu jam 2 siang dia berangkat menuju Bolton untuk urusan pekerjaan dan kembali ke London jam 5 sore tadi dan kemudian menelepon kami karena malihat mayat korban di kamarnya. Dia tinggal seorang diri di rumah ini, jadi tak ada yang menguatkan alibinya. Dia sempat menunjukkan tiket kereta api yang ia gunakan, katanya itu bisa membuktikan bahwa ia benar – benar pergi ke Bolton.”
“Begitu ya. Hmmm, aku butuh bicara dengannya, di mana dia sekarang, Pak?”
“Dia ada di sana, Seth. Silakan bicara padanya sesukamu.”
Aku berjalan menuju ruangan yang ditunjuk oleh Inspektur Brown. Di sana ada
beberapa petugas polisi sedang berjaga dan sebagian sedang menyelidiki ruangan itu, dan seorang pria yang kutafsir berusia sekitar 25 tahun, sedang duduk dengan kepala menunduk.
“Hello?”
Dia mengangkat kepalanya, “Siapa anda?”
“Aku Seth, Seth Clearwater, detektif swasta, di sini untuk bekerja sama dengan kepolisian London memecahkan kasus ini.” Kutunjukkan kartu identitasku.
“Namaku James Walker, pemilik rumah ini sekaligus kekasih Angel. Apa yang ingin anda ketahui dariku?”
“Hm sederhana saja, silakan ceritakan apapun yang ingin kau ceritakan dan yang kau ketahui dari kasus ini.”
“Err... baiklah. Bermula pada malam 3 hari yang lalu, aku dan Angel makan malam di sebuah restoran favorit kami. Aku sempat ke toilet karena saat itu
aku sedang sedikit mual, saat aku kembali aku melihat ada pesan yang masuk ke ponselku, mungkin saat aku ke toilet tadi pesan itu masuk. Pesan itu dari rekan kerjaku yang menyuruhku pergi ke Bolton esok harinya. Angel tahu hal itu. Kemudian esoknya aku pergi ke Bolton dengan kereta jam 2 siang. Setibanya di Bolton, aku tak mendapatkan apa – apa, aneh sekali menurutku. Aku mencoba menghubungi rekan kerjaku yang menyuruhku datang ke sana, namun aku tak bisa menghubunginya, selalu mailbox. Aku menunggu hingga 2 malam di sana namun tak kunjung ada kabar. Akhirnya aku pulang ke London dan tiba di sini jam 5 sore. Setiba aku di sini aku kaget karena pintu rumahku tidak terkunci. Dan aku
menemukan jejak sepatu menuju kamarku, aku ikuti jejak itu sampai jejak itu berakhir di kamarku, dan aku mendapati tubuh Angel yang sudah bersimbah darah di tempat tidurku. Aku pun bergegas menghubungi ambulance dan polisi. Sungguh aku tak mengerti dengan semua ini.”
“Apa kau mengunci pintu rumahmu sebelumnya?”
“Aku yakin aku menguncinya, ini kuncinya.”
“Apa tak ada kunci duplikatnya?”
“Tidak, sempat ingin kubuat, tapi aku menundanya hingga aku menikah dengan Angel nanti.”
“Begitu ya, baiklah, terima kasih James, informasi darimu sangat membantu.”
Aku kemudian pergi menemui Inspektur Brown lagi yang kini sibuk dengan petugas polisi yang lain.
“Sudah puas dengannya, Seth?”
“Lumayan. Tapi aku masih belum mengerti dengan kasus ini. Mungkin dia yang membunuhnya, dan bisa saja dia berbohong tentang tiketnya itu. Tapi aku belum menemukan buktinya. Kurasa kita harus menyelidikinya lebih dalam lagi, Pak.”
“Hmmm, cukup masuk akal, aku juga berpikiran begitu. Baiklah, sepertinya kita harus lebih ekstra lagi dalam kasus ini.”
“Apa kau sudah menyelidiki tentang korban? Keluarganya mungkin? Atau kerabatnya?”
“Astaga, aku hampir lupa, aku belum memberi tahu keluarga korban tentang kematian korban.”
“Oh ya ampun, ini fatal, sir. Baiklah kita mulai dari keluarga korban, sekaligus menyelidikinya.”
“Aku setuju. Tunggu sebentar.”
***
Aku, Inspektur Brown dan beberapa petugas polisi tiba di rumah korban, hanya memakan waktu 15 menit perjalanan dengan mobil. Rumah yang tak begitu besar.
“Permisi.” 3 kali kami mengetuk pintu rumah itu, samar kudengar suara seseorang menyahut ketukan kami. “Ya sebentar” begitulah suara itu.
Pintu itu dibuka oleh seorang pria berkumis dan berjanggut tipis, “Siapa kalian dan ada apa datang ke rumahku?”
“Kami dari kepolisian London, saya Inspektur Brown dan ini Seth Clearwater. Bolehkah kami masuk?”
Akhirnya pria itu mengijinkan kami masuk, kami duduk di sofa ruang tamu rumah
itu, pria itu ijin ke belakang untuk membuatkan kami minum. “Silakan.” Katanya ketika menaruh secangkir coklat panas di hadapan kami.
“Begini, err...”
“Chris Dalton, Pak.”
“Ya, begini Chris, apakah kau sudah tahu bahwa adikmu, Angelina Cristine, telah tewas dua hari yang lalu?”
Wajahnya berubah menjadi sangat terkejut, aku takkan mengibaratkannya seperti
tersengat petir di siang bolong karena perumpamaan itu sudah terlalu mainstream. “Kau pasti bercanda! Bagaimana bisa dia tewas?”
“Jika kami bercanda, lebih baik kami menghangatkan diri kami di depan perapian
atau berendam air hangat daripada datang ke sini dan membuang waktu dengan memberi celoteh tak berguna padamu.” Kataku.
“Dia tewas terbunuh, diperkirakan sudah sejak dua hari yang lalu di rumah kekasihnya, James Walker. Apa kau mengenal pria itu?”
“Dia? Tidak mungkin! Dia ‘kan... maksudku dia seharusnya menikahi adikku, kenapa dia justru membunuhnya!”
“Tunggu, apa maksudmu?” aku dan Inspektur Brown menampakkan wajah bingung.
“Tunggu sebentar.” Dia beranjak dari tempat duduknya, entah akan pergi ke mana.
Selagi menunggu, aku meminum coklat panas yang tadi disuguhkan. Sementara Inspektur menyalakan cerutunya karena sejak tadi aku tak melihatnya menghisap cerutunya.
Tak lama kemudian Chris kembali lagi, “Ini.” Katanya sembari memberikan sesuatu pada Inspektur Brown. Rupanya korban sedang hamil. “Aku tak sengaja menemukannya di kamar adikku saat aku sedang membersihkan rumah 4 hari yang lalu, saat itu aku menemukannya di meja rias di kamar adikku, tak lama aku memegang benda itu, adikku memergokiku dan bergegas merebut benda itu dariku. Aku yakin itu perbuatan pria itu, karena mereka berpacaran. Adikku tidak pulang sejak 3 hari yang lalu, aku mencoba menghubnginya tapi tak bisa juga,
aku sempat membuat laporan kepada polisi tentang hal ini tapi belum juga diproses oleh kepolisian. Aku menduga dia takut pulang karena aku mengetahui hal itu, tapi tak kusangka ia telah tewas dibunuh.”
Perkataannya memang masuk akal, hm, tapi aku masih belum begitu yakin. Kemudian aku bertanya beberapa hal padanya hingga kuketahui bahwa korban tinggal bersama ibunya yang sedang sakit cukup parah dan kakaknya yang bernama Chris yang kini sedang berada di hadapanku, Chris seorang pekerja di
sebuah konstruksi bangunan, saat aku meminta ijin untuk memeriksa kamarnya aku menemukan pakaian kerjanya yang lengkap. Ibunya sudah sakit sejak 5 bulan yang lalu, terserang penyaki semacam stroke sehingga sebelah tubuhnya lumpuh. Chris meminta kami untuk tidak menemui ibunya karena takut ibunya shock mendengar hal itu, tapi kami diijinkan untuk melihat ibunya di kamarnya. Kemudian dia meminta tolong pada kami agar menyelidiki kasus ini dan menangkap pembunuh adiknya. Kami pun pamit dan melanjutkan penyelidikan.
“Jadi kemana kita selanjutnya?”
“Ah ya kita melupakan satu hal, Pak.” Aku kemudian berbalik dan mengetuk pintu rumah korban lagi. “Ada apa lagi, Pak?” kata Chris. Aku bertanya padanya tentang kerabat – kerabat adiknya yang kurasa dapat membantu kami memecahkan kasus ini.
“Baik, aku sudah mendapatkannya. Sekarang kita ke rumah pria bernama William Crossroad ini terlebih dahulu karena paling dekat di antara yang lainnya.” Inspektur Brown pun mengangguk setuju.
***
“Ya aku memang teman Angel, kami sudah berteman sejak SMA dulu, terakhir aku bertemu dengannya sekitar seminggu yang lalu. Waktu itu aku tak sengaja bertemu dengannya di sebuah mall, dia sedang bersama kekasihnya, si James itu. Aku jarang bertemu dengannya, jadi aku tak begitu tahu apa masalahnya. Aku turut berduka atas meninggalnya Angel. Maaf aku harus segera pergi karena rekan bisnisku sudah menunggu, jadi bisakah kita selesaikan ini sekarang?”
Akhirnya kami hanya mendapatkan informasi seperti itu dari pria bernama William, lalu kami melanjutkan penyelidikan kami ke rumah seorang wanita bernama Vivian Jessica. Saat kami sampai di rumahnya, dia sedang tidak ada, menurut orang tuanya ia sekarang sedang bermain tennis di sebuah tempat, kami pun meluncur ke sana.
“Kami berteman baik, tapi 3 hari terakhir ini aku tak mendapat kabar darinya, aneh memang, biasanya kami selalu memberi kabar melalui SMS ataupun telepon, terkadang juga skype. Kami mengobrol tentang berbagai hal, kau tahu, yah begitulah wanita. Ya aku tahu dia sudah hamil, dan aku dengar bahwa James mau menikahinya, kalau tak salah dia mengatakannya 4 hari yang lalu, jam 8 malam melalui skype. Ya itu terakhir kali aku berkomunikasi dengannya.”
“Kenapa kau tampak sedih begitu?”
“Yang benar saja, sahabatku meninggal tentu saja aku sedih.”
“Tidak, itu berbeda.”
“Hm,
James adalah mantan kekasihku dulu, tapi itu sudah lama sekali. Aku akui aku masih mencintainya, tapi aku tidak akan bertindak bodoh, aku bersumpah bukan aku yang melakukannya. Bagaimanapun Angel adalah sahabatku.”
Dia mencurigakan, “Apa yang kau lakukan 2 malam yang lalu?”
“Hei hei, kalian mencurigaiku?”
“Jawab saja, demi kemulusan penyelidikan.” Kataku.
“Baiklah, tapi kau akan menyesal karena telah mencurigaiku. 2 malam yang lalu aku berada di luar kota karena ada pertandingan tennis, jika kau tak percaya tanyakan saja pada orang – orang di sini. Aku kembali ke London keesokkan harinya jam 9 pagi. Apa kau puas?” dia terlihat tidak suka dengan kecurigaan kami padanya, wajahnya kini berubah jadi masam.
“Baiklah terakhir, apa kau tahu siapa saja yang memiliki dendam pada korban atau setidaknya benci dan tidak suka pada korban?”
“Hm, tunggu sebentar, kurasa tidak ada, entahlah tapi aku tak merasa ada yang membenci Angel.”
“Vivi! Giliranmu sekarang!” tiba – tiba seseorang dari arah lapangan memanggilnya. “Maaf aku harus bermain tennis sekarang, jika ada lagi yang ingin kalian tanyakan, silakan hubungi aku, ini karu namaku.” Dia pun pergi mtengambil raket tennisnya dan kami pergi.
“Jadi bagaimana sekarang?” Inspektr Brown bertanya padaku, aku menoleh padanya dan kubalas pertanyaannya dengan menaikkan bahuku. Aku sedang berpikir, entahlah apa yang kupikirkan, rasanya ada yang aneh dengan kasus kali
ini. Apakah aku sudah selesai dengan penyelidikan ini? Ataukah aku harus mencari fakta – fakta dan para tersangka baru untuk memecahkan kasus ini? Entahlah, aku sungguh kehabisan ide.
“Pak, kurasa aku harus pergi, ada yang ingin kukerjakan, jika ada sesuatu tolong segera hubungi aku. Oh ya, boleh aku pinjam mobilmu? Mobilku masih kutitipkan, kau tahu ‘kan bagaimana Watson?” Inspektur Brown memberikanku kunci mobilnya, aku pergi meninggalkannya dan meluncur dengan mobil miliknya.
Tempat yang ingin kutuju sekarang adalah poirot cafe, aku butuh coklat panas untuk menjernihkan otakku dan memikirkan apa yang harus kupikirkan dan aku lakukan selanjutnya...
Pertanyaan:
Analisa Case ini ;)
Good Luck!
Regards,
Seth D. Kei - Net Detective Indonesia
"KODE BERADA DI GAMBAR YANG SAYA UPLOAD KE GRUP INI"
ReplyDeleteGambarnya mana??? grupnya mana?? -_-
itu kan Mulyadi .... in K.O.D.E itu nama grupnya hehehe
Deletehttps://fbcdn-sphotos-e-a.akamaihd.net/hphotos-ak-prn2/954850_4777698171497_730703190_n.jpg
ReplyDelete